Add caption |
Mappadendang adalah suatu kegiatan hiburan atau semacam pesta rakyat setelah panen padi dan merupakan tradisi masyarakat bugis. kegiatan seperti ini biasanya di langsungkan pada malam hari hingga larut malam, yang memang bertujuan untuk hiburan setelah kerja keras mereka mengolah sawah.
Pelaksanaannya biasanya melibatkan 4 hingga 6
orang perempuan dan 2 atau 3 lelaki.
Para perempuan yang beraksi dalam bilik baruga
disebut indo'na,
sedang pria yang menari disebut ambo'na.
Biasanya area pertunjukan di kelilingi pagar Walasoji (pagar terbuat dari
anyaman bambu). Seringkali acara ini di ikuti atau diakhiri dengan acara makkacapi.
Tradisi mappadendang ini sudah berjalan turun
temurun. Tiap musim panen tiba, semua orang melakukan mappadendang. Semua daerah yang sumber
penghasilannya dari bercocok tanam di lahan sawah akan melakukan Tradisi yang
menjadi hiburan rakyat ini.
Tapi itu dulu. Ketika
tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang di hormati. Sebelum akhirnya
bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi
nasional. Sekadar mengingat kembali lebih dari 30 tahunan yang silam,
pemerintah melancarkan program intensifikasi pertanian di desa-desa, yang
dikenal dengan revolusi hijau dalam pembangunan pertanian. Program itu, di awal
tahun 1970-an, populer dengan nama Bimas Padi Sawah. Nyaris tak ada satu
jengkal pun lahan pertanian yang terhindar dari proyek berorientasi swasembada
dan bisnis pertanian ini.
Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.
Seiring dengan modernisasi itu sistem pertanian lebih berorientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan dan di lupakan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani, Tak ada lagi katto bokko, Tidak pula kelong pare dan tentu tidak ada lagi mappadendang.
Sejak saat itu pare riolo yang biasa disemai para petani ini mulai jarang ditanam. Dan digantikan dengan varietas ‘unggul’ padi sawah. Teknik baru berupa mesin-mesin traktor juga menggantikan sistem pengolahan tanah yang mengandalkan tenaga sapi atau kerbau.
Seiring dengan modernisasi itu sistem pertanian lebih berorientasi pada aktifitas peningkatan “income” dan produksi nasional. Akhirnya ritual-ritual bercocok tanam yang rutin digelar, lambat laun mulai hilang. Lantaran sistem pertanian pendukung ritual itu semakin ditinggalkan dan di lupakan. Tak ada lagi memanen dengan ani-ani, Tak ada lagi katto bokko, Tidak pula kelong pare dan tentu tidak ada lagi mappadendang.
Apakah Tradisi ini benar-benar telah punah ?